PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia juga melaksanakan hubungan internasional dan membuat perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya. Agar perjanjian internasional sejalan dengan kepentingan nasional, memberikan hasil yang maksimal dan bermanfaat bagi rakyat, maka perlu diatur dalam suatu undang-undang (UU). Sampai saat ini UU yang mengatur mengenai perjanjian internasional adalah UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang mulai berlaku pada tanggal 23 Oktober 2000.
Pada saat dibentuknya UU No. 24 Tahun 2000, UUD Tahun 1945 baru mengalami dua kali perubahan. Dalam UUD Tahun 1945 Perubahan Pertama (1999) dan Kedua (2000), Pasal 11 yang menjadi landasan yuridis pembentukan UU No. 24 Tahun 2000 tidak mengalami perubahan.
Rumusan Pasal 11 tetap seperti semula, yang berbunyi ”Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Sedangkan dalam UUD Tahun 1945 Perubahan Ketiga (2001) dan Keempat (2002), Pasal 11 mengalami perubahan yaitu terdiri dari 3 ayat.
Sebagaimana dikemukakan oleh I Wayan Partiana, ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan dari Pasal 11 UUD Tahun 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat tersebut, diantaranya adanya kriteria perjanjian internasional yang harus membutuhkan persetujuan DPR. Pasal 11 UUD Tahun 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat seharusnya juga menjadi landasan yuridis dalam pembentukan UU yang mengatur mengenai perjanjian internasional. Permasalahan lain dari perjanjian internasional adalah tidak semua perjanjian internasional memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat.
Ada beberapa perjanjian internasional yang dianggap oleh sebagian kalangan masyarakat dapat menyengsarakan rakyat. Misal, berbagai perjanjian perdagangan bebas yang dibuat oleh Pemerintah baik secara bilateral maupun multilateral seperti ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area, ASEAN-Korea Selatan Free Trade Area, dan Indonesia-Japan Partnership.
Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas tersebut menyebabkan rakyat dihadapkan kepada perdagangan bebas dan dipaksa untuk bersaing dengan para pelaku ekonomi dari luar negeri di pasar domestik tanpa adanya perlindungan dari pemerintah. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh dan memberikan dampak yang sangat berat bagi masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, perjanjian internasional di bidang ekonomi dan perdagangan tidak termasuk di dalam kategori yang harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Akibatnya, perjanjian perdagangan yang dilakukan Indonesia dengan negara lain dianggap berada di dalam ranah eksekutif yang pengesahannya cukup melalui Keputusan Presiden (Kepres).
Dalam praktiknya, selama ini juga telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2000. Pagu pinjaman luar negeri yang disetujui oleh DPR bersamaan dengan disahkannya UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dianggap secara otomatis adanya persetujuan DPR terhadap perjanjian pinjaman luar negeri. Hal ini tidak sesuai dengan maksud UU No. 24 Tahun 2000. Persetujuan DPR terhadap UU APBN tidak identik dengan pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional oleh DPR. UU APBN bukanlah UU mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional, melainkan UU untuk menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Sedangkan pengesahan/ratifikasi adalah lembaga hukum ketatanegaraan tentang pengesahan oleh legislatif atas perbuatan hukum pemerintah sesuai dengan hukum perjanjian internasional.
Beberapa permasalahan tersebut menandakan adanya kelemahan atau kekurangan yang ada dalam UU No. 24 Tahun 2000 dalam mengatur mekanisme pembuatan atau pun pengesahan perjanjian internasional.Hal ini dikhawatirkan pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional kurang memberikan manfaat yang maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
1.2 Rumusan Masalah
- Apa dasar hukum perjanjian internasional di indonesia?
- Bagaimana tahapan pembuatan perjanjian internasional di Indonesia?
- Contoh ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dasar Hukum
- UUD 1945 pasal 11 ayat 1, 2 dan 3
- Undang-Undang no 37 tahun 1999 tentang hubungan internasional
- Undang-undang no 24 tahun 2000 tentang pembuatan perjanjian internasional
2.2 Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional di Indonesia
Tahapan pembuatan perjanjian internasional, di Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yaitu:
Tahap Penjajakan
Penjajakan merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenal kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional;
Kementerian Pertanian (Pusat Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal) dapat sebagai inisiator untuk mengusulkan pembuatan perjanjian internasional ke Negara mitra atau sebaliknya sebagai yang menerima usulan pembuatan perjanjian internasional. Baik sebagai pihak yang mengusulkan atau menerima usulan saling menjajaki pembuatan perjanjian internasional sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing pihak;
Tahap Perundingan
Perundingan merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional;
Tahap Perumusan Naskah
Perumusan naskah merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional;
Sekretariat Jenderal (Pusat Kerjasama Luar Negeri) mengkoordinasikan penyusunan konsep perjanjian internasional berdasarkan masukan dari unit eselon I. Apabila naskah perjanjian internasional tersebut melibatkan Kementerian lain atau lembaga pemerintah lainnya, maka dapat dilakukan koordinasi inter kementerian melalui surat menyurat atau mengadakan rapat inter kementerian;
Setelah naskah perjanjian internasional dirumuskan dalam bentuk draft/counter draft, kemudian dikonsultasikan dan dikoordinasikan dengan Kementerian Luar Negeri melalui Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) dan/atau unit regional atau multilateral di Kementerian Luar Negeri untuk diminta tanggapan/masukan dan/atau disampaikan ke counterpart melalui KBRI di Negara counterpart. Tahapan ini pihak indonesia dan pihak counterpart menyusun draft dan counterdraft perjanjian internasional;
Tahap Penerimaan
Penerimaan merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/ approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional;
Hasil akhir dari penyusunan draft dan counter draft ini adalah suatu draft finalperjanjian internasional yang jika diperlukan, diparaf oleh para pihak sebelum ditandatangani;
Tahap Penandatanganan
Penandatanganan merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai Negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan ratification/ accession/ acceptance/ approval.
Penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerja sama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik Departemen maupun non Departemen dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa (pasal 7 ayat 5);Seseorang yang mewakili Pemerintah Indonesia dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada perjanjian internasional memerlukan Full Powers (pasal 7 ayat 1).
Pada perundingan multilateral, dalam “Rules of Procedures” mensyaratkan adanya Surat Kepercayaan / Credentials (pasal 7 ayat 1) bagi delegasi yang menghadiri perundingan tersebut, maka instansi pemrakarsa mengajukan permintaan kepada Kementerian Luar Negeri untuk menerbitkan Surat Kepercayaan dengan melampirkan nama, jabatan, dan kedudukan pejabat dalam susunan pejabat tersebut. Hal ini mutlak diperlukan untuk menunjukkan bahwa pejabat tersebut merupakan wakil yang ditunjuk secara sah oleh Pemerintah Republik Indonesia;
Sekretariat Jenderal (Pusat Kerjasama Luar Negeri) berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dalam penyiapan (Full Powers) untuk penandatangan perjanjian internasional. Bila secara substansi (draft final PI) dan prosedural (Full Powers) telah selesai, maka perjanjian internasional tersebut dapat ditandatangani oleh kedua belah pihak;
Perjanjian internasional berlaku setelah dilakukan penandatanganan, atau perjanjian internasional tersebut berlaku setelah pertukaran Nota Diplomatik (Pasal 15 ayat 1);
2.3 Praktik Ratifikasi di Indonesia
Dari sudut pandang Indonesia pengesahan perjanjian internasional diatur di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Undang-undang tersebut mengatur tata cara pengesahan suatu perjanjian internasional sesuai dengan jenis perjanjiannya. Di Indonesia, pengesahan perjanjian internasional menjadi hukum positif Indonesia menggunakan sistem campuran, yakni oleh badan eksekutif dan legislatif dalam bentuk undang-undang atau keputusan presiden sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000.
Pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang diatur oleh Direktorat Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Sedangkan yang menangani pengesahan/ratifikasi dalam bentuk keputusan presiden adalah Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:
- Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara;
- Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
- Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
- Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
- Pembentukan kaidah hukum baru;
- Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Terkait bentuk pengesahan ini maka setidaknya ada tiga peraturan yang menjadi dasar yaitu : UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.
2.4 Contoh perjanjian internasional yang diratifikasi
- Contoh ratifikasi melalui UU:
- Perjanjian antara Indonesia-Australia mengenai garis batas wilayah antara Indonesia dengan Papua New guinea yang ditandatangani di Jakarta, 12 Februari 1973 dalam bentuk agreement. Namun, karena pentingnya materi yang diatur dalam agreement tersebut, maka pengesahannya memerlukan persetujuan DPR dan dituangklan ke dalam bentuk UU, yaitu UU No.6 Tahun 1973;
- The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) (Konvensi Hukum Laut Tahun 1982) yang diratifikasi melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985, tetap memerlukan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan;
- Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika Tahun 1971) yang disahkan (diratifikasi) melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1996, masih memerlukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
- Contoh ratifikasi melalui keppres/perpres:
- Internasional Convention For The Safety Of Life At Sea 1974, konvensi mengenai aturan pokok internasional di bidang keselamatan kapal, diratifikasi melalui Keputusan Presiden (no. 47/1980 tahun 1980);
- Convention on the internasional regulations forpreventing collsions at sea , 1972, aturan engenai keselamatan pelayaran terutama dalam rangka pencegahan tabrakan di laut, diratifikasi melalui keputusan presiden no. 50 11 oktober 1979.
BAB III
PENUTUP
KesimpulanDasar hukum pembuatan perjanjian internasional tertuang dalam UUD pasal 11 ayat 1,2 dan 3, UU no 37 tahun 1999 tentang hubungan internasional dan dalam UU no 24 tahun 2000 tentang pembuatan perjanjian internasional.
Ada beberapa tahapan pembuatan perjanjian internasional , yaitu Tahap Penjajakan, Tahap Perundingan.Tahap Perumusan Naskah, Tahap Penerimaan, Tahap Penandatanganan.
Di indonesia ada dua cara ratifikasi perjanjian internasional, yaitu: melalui UU dan melalui PERPRES.
DAFTAR PUSTAKA
Roisah,Kholis. Hukum Perjanjian Internasional Teori Dan Praktik. Setara Press. 2015.
Boermauna. Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Global. Penerbit Alumni. 2000.
UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
http://www.kompasiana.com/isharyanto/perjanjian-internasional-yang-melanggar-undang-undang_5520c08da33311684946cdbf diakses tanggal 13 november 2016.