1.
Masa Klasik
Permulaan
dari Hukum Internasional dapat kita lacak kembali, mulai dari wilayah Mesopotamia pada sekitar tahun 2100 SM. Dimana
telah ditemukan sebuah traktat pada dasawarsa abad ke-20
yang ditandatangani oleh Ennamatum, pemimpin Lagash, dan pemimpin Umma. Traktat
tersebut ditulis di atas batu yang di dalamnya mempersoalkan perbatasan antara kedua negara kota tersebut.
Traktat tersebut dirumuskan dalam bahasa
Sumeria. Tidak ketinggalan Hammurabi, raja Babilon dengan Kode Hammurabi
yang memuat ketentuan mengenai pembebasan tawanan
perang lengkap dengan persoalan pembayaran atau tebusannya.
Selain tersebutkan di
atas, banyak bangsa-bangsa lain yang sangat berpengaruh dalam perkembangan
Hukum Internasional kuno, antara lain bangsa India, Yunani, China dan Romawi. Masing-masing memiliki sumbangsih terhadap
perkembangan Hukum Internasional pada
masa klasik. India dengan ajaran-ajaran Hindu dengan kitabnya Manu menunjukkan pengintegrasian nilai-nilai yang
memiliki derajat-derajat kemanusiaan yang tinggi. Cina memperkenalkan
pentingnya nilai-nilai etika dalam proses pembelajaran untuk kelompok-kelompok yang berkuasa. Cina juga terkenal dengan upaya pembentukan perserikatan negara-negara Tiongkok
yang dicanangkan oleh Kong Hu Cu yang bisa dianggap telah sebanding
dengan konsepsi Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada masa
modern.3
Di dalam hal lingkungan
kebudayaan India kuno telah terdapat kaedah-kaedah dan lembaga-lembaga hukum
yang mengatur hubungan atara kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja. Menurut
penyelidikan yang diadakan oleh Bannerjce dimasa beberapa abad sebelum masehi
kerajaan-kerajaan India sudah mengadakan hubungan satu sama lain yang diatur
oleh adat kebiasaan. adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara raja-raja
dinamakan Desa Dharma. Salah seorang pujangga yang terkenal diwaktu itu adalah
Kautilya atau Chanakya yang menurut perkiraan adalah penulis dari pada buku
Artha Sastra. Gautamasutra yang berasal dari abad ke VI sebelum Masehi dan
merupakan salah satu karya dibidang hukum yang tertua telah menyebutkan tentang
hukum kerajaan disamping hukum kasta dan hukum keluarga. Tulisan-tulisan pada
masa itu telah menunjukkan adanya ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah yang
mengatur hubungan raja-raja atau kerajaan demikian. Hukum bangsa-bangsa di zaman
India kuno sudah mengenal ketentuan-ketentuan yang mengatur kedudukan dan
hak-hak istimewa diplomat atau utusan raja yang dinamakan duta. Juga
ketentuan-ketentuan mengenai perlakuan tawanan perang dan cara melakukan perang
(the conduct of war) sudah diatur dengan jelas. bagaimanapun juga melihat
bukti-bukti yang telah ditemukan oleh sarjana-sarjana dapatlah dikatakan bahwa
di India kuno telah ada semacam hukum yang dapat dinamakan hukum bangsa-bangsa.
Kemudian ada bangsa
Yunani Kuno yang memiliki sumbangsih dalam perkembangan Hukum Internasional
melalui pemikiran-pemikirannya yang terkait dengan persoalan- persoalan publik seperti arbitrase, keadilan, dan
perlindungan warga negara yang dicetuskan oleh beberapa tokoh-tokoh
terkenalnya pada masa itu seperti Aristoteles, Zeno, dan Cicero.5
Lingkungan kebudayaan
lain di zaman kuno yang sudah mengenal semacam hum bangsa-bangsa adalah
kebudayaan Jahudi. Orang Jahudi sebagaimana terbukti dari buku-buku kuno mereka
a.l. Kitab perjanjian lama sudah mengenal ketentuan-ketentuan mneganai
perjanjian, perlakuan orang asing dan cara melakukan perang. Akan tetapi di
dalam hukum perang masih dibedakan dalam hukum perang Jahudi ini diperlakukan
terhadap mereka yang dianggap musuh bebuyutan. Terhadap musuh demikian diperbolehkan
penyimpangan-penyimpangan pada ketentuan-ketentuan hukum perang.6
Lingkungan kebudayaan lainnya yang juga sudah mengenal aturan-aturan yang
mengatur hubungan antara kumpulan-kumpulan manusia dengan lingkungan kebudayaan
Junani yang sebagaimana telah diketahui hidup didalam negara-negara kota.
Menurut hukum negara-negara kota ini penduduk digolongkan ke dalam dua golongan
yaitu orang Junani dan orang-orang luar dianggap orang biadab (barbar).
Masyarakat Junani sudah menganal perwasitan dan diplomasi yang tinggi tingakt
perkembangannya. Mereka juga menggunakan wakil-wakil dagang yang melakukan
banyak tugas yang sekarang dilaksanakan oleh konsul. Akan tetapi sumbangan yang
paling berharga dari pada kebudayaan Junani waktu itu bagi hukum internasional
adalah Konsep Hukum Alam yaitu hukum yang berlaku secara mutlak di manapun juga
dan berasal dari ratio atau akal sehat.
Konsep hukum alam ini
adalah konsep yang telah dikembangkan oleh ahli filsafah yang hidup dalah abad
ke III sebelum Masehi. Dari Junani pelajaran hukum alam ini diteruskan ke Roma
dan Romalah yang memperkenalkannya kepada dunia. Sebagaimana kita ketahui
pelajaran hukum alam ini telah memainkan peranan yang panting di dalam sejarah
hukum Internasional dan setelah terdesak untuk bebrapa waktu oleh ajaran kaum
positivist, mengalami kebangunan kembali (revival) setelah perang dunia ke II.8
Bangsa
Romawi pun memiliki sumbangsih yang siginifikan terhadap perkembangan Hukum Internasional. Pada masa Romawi Kuno
banyak terdapat konsep-konsep Hukum Internasional
yang masih dipakai sampai sekarang seperti penandatanganan dan ratifikasi dalam proses perjanjian internasional serta
konsep kekebalan (immunity) dari duta.9
2. Masa Pertengahan
Sebenarnya
pada masa ini Hukum Internasional kurang mendapatkan perhatian, bahkan bisa dikatakan mengalami kemunduran. Peran
keagamaan secara berlebih-lebihan mendominasi
sektor-sektor sekular. Kemunduran luar biasa ini berakibat pada terpinggirkannya rasio, karena itu tidak
mengherankan apabila zaman pertengahan disebut
sebagai masa kegelapan (the dark age).
Benih-benih
perkembangan Hukum Internasional dapat ditemukan di daerah-daerah yang berada di luar jangkauan kekuasaan Geraja Roma.
Negara-negara ini antara lain Inggris, Prancis, Venesia, Swedia,
Portugal, dan Aragon. Perjanjian-perjanjian pada jaman ini mencerminkan pengaturan mengenai peperangan,
meliputi perdamaian, gencatan senjata,
dan persekutuan-persekutuan.
Walaupun menurut anggapan umum selama abad pertengahan
tidak dikenal satu sistim organisasi masyarakat nasional yang terdiri dari pada
negara-negara yang merdeka namun menuntut penyelidikan – penyelidikan yang
terakhir beranggapan tadi ternyata tidak seluruhnya benar. Memang benar selama
abad pertengahan ini Dunia Barat dikuasai oleh satu sistim feudal yang
berpuncak pada Kaisar sedangkan kehidupan Geraja berpuncak pada Paus sebagai
kepala gereja katolik roma. Masyarakat Eropah waktu itu merupakan satu
masyarakat Kristen yang terdiri dari beberapa negara yang berdaulat dan tekhta
suci. Masyarakat Eropah inilah yang menjadi pewaris kebudayaan Romawi dan
Junani.
Pada akhir masa
pertengahan, Hukum Internasional digunakan dalam berbagai macam isu (politik, pertahanan, dan militer) seiring
dengan mulai melemahnya kekuasaan keagamaan
yang ditandai dengan maraknya upaya-upaya sekularisasi yang tidak terlepas dari
proses terbentuknya negara-bangsa-negara-bangsa modern yang mendasarkan
kekuasaannya pada legitimasi faktor-faktor sekular. Keadaan ini tercermin
dengan jelas pada tulisan Machiavelli yang
berjudul Il Principe yang menelanjangi kekuasaan, kemudian ada Martin Luther yang mengingunkan
adanya pemisahan kekuasaan, di satu sisi wilayah spiritual dengan
sekular di sisi lain. Lantas kemudian terdapat Jean Bodin dengan konsep kedaulatannya melalui buku berjudul
Six Livres de la Republique (terbit 1576).
Satu lagi tokoh asal Italia Alberico Gentili, seorang Professor hukum sipil di
Oxford Inggris mengabdikan dirinya pada persoalan-persoalan yang terkait dengan
pembentukan traktat, penggunaan kekerasan, hak-hak budak dan kebebasan
di laut dengan karya utamanya yang berjudul
De Jure Belli Libri Tres yang muncul pada tahun 1598.
3.
Hukum Internasional Islam
Ditinjau
dari aspek sejarah, Islam memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan Hukum Internasional, tidak saja pada tataran teoritis belaka
tetapi juga dalam dimensi praktis hubungan antara negara-negara Islam termasuk
organisasinya dengan negara-negara Barat lainnya. Hukum Internasional modern
tidak murni sebagai hukum yang secara
eksklusif warisan dari Eropa, peradaban Islam memberikan pengaruh juga terhadap perkembangan sistem Hukum
Internasional. Sejarahwan Eropa yang menyatakan
hal ini antara lain Marcel Boissard dan Theodor Landschdeit.14
Dr.M.Abu
Zahrah mengemukakan sepuluh prinsip dasar tentang kelangsungan hubungan internasional dalam teori dan praktek kaum
Muslimin di masa lalu, yaitu: (1) Islam menempatkan
kehormatan dan martabat manusia sebagai makhluk terhormat, ia sebagai Khalifah (wakil Tuhan) di muka bumi. (2) manusia
sebagai umat yang satu dan disatukan, bukan saja
oleh proses teori evolusi historis dari satu keturunan Nabi Adam,
melainkan juga oleh sifat
kemanusiaan yang universal. (3) prinsip kerjasama kemanusiaan (ta'awun insani) dengan menjunjung tinggi kebenaran dan
keadilan. (4) prinsip toleransi (tashomah)
dan tidak merendahkan pihak lain. (5) adanya kemerdekaan (harriyah),
kemerdekaan menjadi sangat penting sebab merupakan akar pertumbuhan dan
kesempurnaan manusia. (6) akhlak yang mulia dan keadilan. (7) perlakuan yang sama dan anti diskriminasi. (8) pemenuhan atas
janji. (9) Islam menyeru pada perdamaian,
karena itu mematuhi kesepakatan merupakan kewajiban hukum dan agama. (10) prinsip kasih sayang dan mencegah kerusakan.15
Selain itu, kontribusi Islam
terhadap perkembangan Hukum Internasional dapat dilihat pada konsepsi siyar
yang merupakan cabang dari shari'ah. Pemahaman siyar dapat dilihat pada hubungan antara negara-negara Muslim
dan non-Muslim dan sesama negara Muslim. Selain itu konsepsi siyar dapat juga
dilihat dalam sikap netralitas dari satu negara Islam terhadap dua negara yang sedang bertikai.
memiliki sumber-sumber tambahan selain sumber-sumber utama (Al-Quran dan As-Sunnah), sumber
tambahan (subsidiary sources) tersebut adalah praktek-praktek Empat Khalifah
pertama yang diklaim oleh ahli-ahli Hukum
Islam dapat melengkapi Al-Quran, selain itu sumber tambahan ini dapat berupa pendapat-pendapat
sarjana Hukum Islam, putusan Arbitrase, hukum nasional yang terkait dengan materi siyar, deklarasi unilateral
yang terkait dengan siyar, dan
kebiasaan. Jika diperhatikan konstruksi sumber-sumber hukum tersebut terdapat kemiripan dengan sumber-sumber hukum yang
didaftar dalam Statuta ICJ.16
4. Hukum Internasional
Modern
Pada
abad ketujuh belas dan delapan belas semangat baru memasuki Hukum Internasional. Semangat ini dikembangkan oleh pemikir/penulis berpengaruh
seperti Hugo de Groot (Grotius), Samuel
Pufendorf, Ricardo Zouche, Cornelis van Bynkershoek sampai ke Jeremy Bentham yang memberi nama
"Hukum Internasional". Pada abad ini, Hukum Bangsa-Bangsa
(Hukum Internasional) mendapatkan perhatian dan pengertian yang jelas yakni hukum yang secara eksklusif
mengatur hubungan antar negara-negara.17
Hukum Internasional
modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara
lahir dengan kelahiran masyarakat internasional yang didasarkan atas
negara-negara nasional. sebagai titik saat lahirnya negara-negara
nasional yang modern biasanya diambil saat ditanda-tanganinya Perjanjian Perdamaian
West Phalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (thirty Years War) di
Eropa.18
Berlanjut pada abad
kesembilan belas, muncul kelompok dengan paham Positivistik mengungkapkan bahwa "hukum yang mengikat
negara adalah hukum yang mana negara tersebut
telah memberikan persetujuan". Kemudian muncul pemahaman bahwa Hukum Internasional merupakan hukum antar negara
bukanlah hukum yang di atas negara sebagaimana
yang terdapat dalam pemahaman kelompok naturalis. Pada abad kesembilan
belas ini juga ditandai dengan berdirinya dua organisasi yang menampung para
ahli Hukum Internasional (the International Law Association dan Institut de
droit Internastional). Hukum Internasional telah menjadi objek studi dalam
skala luas dan memungkinkan penanganan persoalan Hukum Internasional secara
lebih profesional. Masih di abad kesembilan belas, Hukum Internasional
berkembang sangat pesat seiringdengan
bangkitnya negara-bangsa (nation states), dimana negara-negara baru tersebut memiliki persoalan dalam hal pelaksanaan hubungan
luar negerinya. Di universitas- universitas Eropa, Hukum Internasional
juga telah menjadi cabang studi yang dipelajari secara serius. Artikel atau tulisan dari para professor semakin
mempengaruhi perkembangan Hukum
Internasional.
Memasuki abad kedua
puluh, Hukum Internasional berkembang karena beberapa faktor atau peristiwa penting seperti peningkatan jumlah
negara baru, tingkat saling ketergantungan
yang cukup tinggi, ketertimpangan antara negara maju dan berkembang, Perang
Dunia I (1914-1918), terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa (1919), terbentuknya the
Permanent Court of Internastional Justice (PCIJ-1922-basis dari International
Court of Justice-ICJ), dan peristiwa fenomenal yaitu Perang Dunia II.20
Perang Dunia ke I diakhiri dengan pernjajian
perdamaian Versailles (1919) antara negara-negara sekutu dengan jerman, diikuti
oleh perjanjian Saint-Germain (1919) dengan Austria, Perjanjian Neuilly (1919)
dengan Bulgaria, dan perjanjian perdamaian Trianon (1920) dengan Hungaria.
Perjanjian-perjanjian ini mempunyai cakupan yang lebih luas dibandingkan
dengan setiap pernjajian perdamaian lain sebelumnya. Sebagai prototipe
daripadanya, yaitu perjanjian Versailles yang mulai efektif pada tanggal 10
Januari 1920. 21
5. Hukum Internasional
Dalam Sistem Baru
Langkah-langkah penting
untuk menuju terciptanya sebuah sistem baru dalam Hukum Internasional adalah upaya-upaya konkrit melalui kesepakatan-kesepakatan
dan pembuatan Komite Sementara untuk
menyiapkan PBB sebagai organisasi internasional. Peristiwa penting pada masa
ini antara lain: (a) The Inter Allied Declaration (12 Juni 1941-Inggris Raya menyatakan untuk mendirikan
dunia pasca perang yang berlandaskan perdamaian
dan keamanan), (b) Piagam Atlantic (Agustus 1941-Churchill dan Roosevelt bersepakat
untuk menegaskan prinsip-prinsip umum dasar mekanisme internasional pasca perang), (c) Deklarasi Bangsa-bangsa Bersatu
(1 Januari 1942-kesepakatan pembentikan organisasi internasional baru
dengan nama PBB), (d) Komite London 20 Mei 1943, pembahasan pembentukan ICJ),
(e) Deklarasi Moskow (30 Oktober 1943-AS, Inggris, China dan Uni Sovyet
menandatangani deklarasi pembentukan sebuah badan yang memiliki tanggung jawab
dalam hal perdamaian), (f) Teheran (November 1943- Roosevelt, Churchill, dan
Stalin menyetujui apabila badan internasional baru memiliki kewenangan perihal persoalan penjaga perdamaian),
(g) Bretton Woods (1-21 Juli 1944- awal pendirian rezim hukum ekonomi
internasional), (h) Konferensi Dumbarton Oaks (21 Agustus-Oktober 1944-konferensi awal pendirian
PBB), (i) Konferensi Yalta (4-11 Februari 1945-pembahasan struktur
organisasi pasca perang), dan (j) Konferensi San Fransisco (25 April-26 Juni 1945-penandatanganan Piagam PBB
dan draf Statuta ICJ disetujui).22
6. Menuju Tata
Pemerintahan Global
Masa
dimana PBB telah berdiri dan menjalankan tugasnya pasca perang yaitu menciptakan kondisi damai dan saling menghormati yang timbul akibat
perjanjian dan terpeliharanya sumber Hukum Internasional lainnya. PBB memiliki
peran sentral untuk berfungsinya dan
sekaligus juga promotor bagi pembentukan Hukum Internasional.23
Pada
masa ini ditandai dengan munculnya blok-blok kekuatan di dunia yang dikenal dengan Blok Barat (AS dan negara-negara Eropa
Barat-ditandatanganinya Traktat AtlantikUtara (NATO) pada tahun
1949), Blok Timur (China dan negara Eropa Timur-kekuatan komunis), dan negara
Dunia Ketiga (negara Asia-Afrika pasca Konferensi Asia-Afrika Bandung April
1955).24
Dalam
literatur lain, seperti yang terdapat dalam buku yang ditulis oleh Boer Mauna, disebutkan bahwa dengan prinsip dasar:
"Law exists only in a society, and a society cannot exist without a system of law to regulate the
relations of its members with one another" (Brierly).
Hukum Internasional telah ada sejak jaman dahulu. Ini terbukti pada jaman
Yunani kuno atau Romawi kuno, mereka sudah mengadakan perjanjian-perjanjian
dengan negara- negara atau kerajaan lain, seperti perjanjian damai,
persahabatan bahkan perjanjian perang sekalipun.
Pada abad ke-15 dan 16, di city-states Italia, seperti Venice, Genoa dan Florence
berkembang praktek pengiriman duta-duta besar residen ke ibukota
masing-masing, yang berakibat dibuatnya peraturan-peraturan mengenai hubungan
diplomatik, khususnya yang mengatur
kekebalan-kekebalan para dubes dan stafnya.
Hukum
Internasional dalam arti modern, baru berkembang sejak abad ke-16 dan 17, dimana mulai bermunculan negara-negara dengan sistim hukum modern di
daratan Eropa. Pada saat itu bermunculan
pendapat-pendapat atau pemikiran-pemikiran dari para tokoh/ahli
kenamaan
di Eropa, sehingga mengakibatkan munculnya 2 golongan yang mengiringi
perkembangan Hukum Internasional. Golongan tersebut adalah golongan Naturalis dan golongan Positivis.
1. Golongan Naturalis
Menurut golongan ini, prinsip-prinsip hukum dalam
semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari
prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan yang dapat ditemui oleh akal sehat. Hukum harus
dicari dan bukan dibuat. Golongan ini bersumberkan pada ajaran hukum Tuhan atau
bisa disebut sebagai Teori Hukum
Alam. Salah satu tokohnya adalah seorang Belanda bernama Hugo de Groot (Grotius),
dimana karyanya yang terkenal dan memberi sumbangsih yang sangat besar dalam perkembangan Hukum Internasional adalah De
jure belli ac pacis (Hukum Perang dan Damai). Karya tersebut berisikan
dasar-dasar baru yang mengatur hubungan antar negara.
Teori hukum alam saat ini hampir jarang dipergunakan atau mempunyai pengaruh besar, mengingat negara-negara
modern melihat Hukum Internasional sebagai hasil perumusan kehendak
bersama yang disebut sebagai hukum positif.
2. Golongan Positivis
Menurut golongan ini,
hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah prinsip- prinsip yang dibuat oleh negara-negara dan atas
kemauan mereka sendiri. JJ Rousseau dalam
bukunya Du contract social, La loi c'est I'expression de la volonte generale
Hukum adalah pernyataan kehendak bersama.
Perkembangannya teori ini dikenal sebagai Teori Hukum Positif. Teori ini mulai berkembang di abad ke -18. Di abad ke-19,
Hukum Internasional berkembang
dengan cepat karena beberapa faktor, antara lain: (a) Negara- negara
Eropa sesudah kongres Wina 1815 berjanji untuk selalu memakai prinsip-prinsip
hukum internasional dalam hubungannya satu sama lain; (b) Banyak dibuat
perjanjian- perjanjian (law-making treaties) seperti di bidang perang,
peradilan, arbitrase dll; (c) Berkembangnya perundingan-perundingan multilateral
yang sering melahirkan ketentuan- ketentuan hukum baru.
Pertengahan
abad ke-20, Hukum Internasional semakin pesat perkembangannya karena: (a) Banyaknya negara-negara baru yang lahir; (b)
IPTEK berkembang pesat yang mengharuskan dibuatnya
ketentuan-ketentuan baru yang mengatur kerjasama antar negara di berbagai bidang; (c) Banyaknya perjanjian-perjanjian, baik
bilateral, multilateral, regional atau global; dan (d) Bermunculannya
organisasi-organisasi internasional
seperti PBB. Dengan demikian Hukum Internasional sudah semakin berkembang dan mengatur berbagai aspek-aspek
hubungan antar negara demi tercapainya
kesejahteraan dan keserasian dalam kehidupan antar bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Admawira Sam Suhaedi, dan Arthur Nussbaum, Sedjarah
Hukum Internasional, 1970, Bina Tjipta, Bandung.
Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional;
Pengertian, Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,
Edisi ke-2, Alumni, Bandung.
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, 2002, Pengantar Hukum
Internasional, Alumni, Bandung.
Thontowi Jawahir, dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum
Internasional Kontem