PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase bukanlah suatu hal yang baru bagi Indonesia, namun sejauh ini pelaksanaan putusan arbitase masih menghadapi kendala di dalam praktek, karena penyelesaian sengketa melalui Arbitrase hanya akan efektif jika para pihak yang terlibat sengketa adalah para pihak yang bonafide dan gentlemen, pihak yang menang berusaha supaya putusan Arbitrase didaftarkan pada pengadilan negeri agar memiliki kekuatan hukum, dan pihak yang kalah tetap menghormati dan tidak menghalang-halangi eksekusi.
Tidak adanya sikap tersebut mengakibatkan kegagalan penyelesaian sengketa melalui arbitase, pihak yang kalah seringkali tidak mau dieksekusi secara sukarela, sehingga terpaksa harus melibatkan pengadilan padahal keterlibatan pengadilan eksekusi ini akan memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit sehingga akhirnya penyelesaian sengketa melalui arbitase yang diyakini lebih cepat dan hemat biaya tidak tercapai.
1.2 Rumusan Masalah
- Bagaimana Praktek Pelaksanaan Putusan Pengadilan Asing di Indonesia.
- Bagaimana Pengakuan dan pelaksanaan putusan
- Bagaimana Perbandingan Praktek di Negara Lain
- Bagaimana Praktek pelaksanaan putusan arbiterase asing di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN DAN ARBITERASE ASING DI INDONESIA
2.1 Pelaksanaan Putusan Pengadilan Asing di Indonesia
Ketentuan–ketentuan tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing (Internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang–Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Aturannya terdapat dalam Bab VI pasal 65 sampai dengan pasal 69. Ketentuan–ketentuan tersebut pada dasarnya sejalan dengan ketentuan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) seperti yang diatur dalam Konvensi New York 1958.
Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 menetapkan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dari pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selanjutnya pasal 66 mengatur hal–hal sebagai berikut: Putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat–syarat sebagai berikut:
- Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
- Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum perdagangan.
- Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
- Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
- Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yagn menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selanjutnya pasal 67 menetapkan bahwa permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Walaupun telah terdapat pengaturan yang cukup jelas dan tegas mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dalam UU No. 30 Tahun 1999, dibandingkan dengan masa ketika belum adanya pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut (yaitu sebelum adanya UU No. 30 Tahun 1999), Indonesia masih sering menuai kritik dari dunia internasional mengenai pelaksanaan putusan arbtirase internasional.
Kesan umum di dunia internasional adalah bahwa Indonesia masih merupakan “an arbitration unfriendly country”, dimana sulit untuk dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional. Karena mengantisipasi hal demikian itu, maka tidaklah heran jika Karahabodas sebagai pihak yang menang perkara arbitrase internasional mengajukan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional di negara lain dimana terdapat kekayaan Pertamina.
Masalah utama yang sering dipersoalkan oleh dunia internasional bahwa pengadilan Indonesia enggan untuk melaksanakan putusan arbitrase atau menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dengan alasan bahwa putusan yang bertentangan dengan public policy atau ketertiban umum. Seperti diketahui, walaupun public policy dirumuskan sebagai ketentuan dan sendi-sendi pokok hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa, dalam hal ini Indonesia, namun penerapan kriteria tersebut secara konkret tidak selalu jelas, sehingga keadaan demikian dilihat oleh dunia internasional sebagai suatu ketidakpastian hukum.
Menarik untuk dicatat bahwa UU No. 30 Tahun 1999 hanya mencantumkan public policy sebagai alasan bagi penolakan putusan arbitrase asing (internasional), padahal Konvensi New York dalam pasal 5 mencantumkan pula sejumlah ketentuan-ketentuan lainnya yang dapat merupakan alasan bagi penolakan putusan arbitrase asing (internasional), yang menyangkut hal-hal yang menyangkut due prosess of law dapat dipertanyakan walaupun ketentuan-ketentuan lainnya tersebut tidak dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia (UU No. 30 Tahun 1999) apakah hakim pengadilan Indonesia tidak terikat pada ketentuan-ketentuan tersebut, sedangkan Indonesia adalah anggota Konvensi New York.
Pelaksanaan eksekusi apabila eksekuatur telah diperoleh masih sering menyisakan berbagai permasalahan dilapangan, apabila terjadi perlawanan terhadap pelaksanaan eksekusi yang bersangkutan dengan alasan apapun. Seperti diketahui, prosedur pelaksanaan eksekusi menurut hukum acara perdata diselenggarakan sesuai dengan proses pemeriksaan perkara di pengadilan hal mana berarti dapat berlangsung dalam jangka waktu panjang. Tentu saja keadaan demikian menimbulkan perasaan ketidakpastian hukum pada pihak-pihak yang bersangkutan.
Masalah lain yang juga menimbulkan ketidakjelasan dalam hukum arbitrase di Indonesia adalah mengenai pengertian arbitrase internasional itu sendiri. Seperti diketahui, pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 merumuskan putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbtirase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbtirase internasional.
Dengan adanya rumusan seperti demikian dapat diartikan bahwa putusan arbitrase yang dijatuhkan di dalam wilayah hukum Indonesai adalah bukan putusan arbitrase asing (internasional), atau putusan arbitrase domestik (nasional).
Hal ini menjadi masalah mengingat Konvensi New York 1958 dalam kaitannya dengan masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase adalah menyangkut putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara yang berbeda daripada negara dimana dimintakan pengakuan dan pelaksanannya mengenai sengketa secara fisik atau hukum yang timbul antara mereka yang bersengketa.
Ditegaskan pula bahwa Konvensi New York berlaku atas putusan yang oleh Negara dimana putusan tersebut diakui dan akan dilaksanakan tidak dianggap sebagai putusan arbitrase domestik.
Seperti diketahui UU No. 30 Tahun 1999 hanya mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase International di Indonesia, tetapi tidak mengatur sama sekali tentang penyelenggaraan arbitrase international di Indonesia. Dengan mudah orang menafsirkan bahwa setiap arbitrase yang diselenggarakan dan diputus di dalam wilayah Indonesia adalah arbitrase domestik (nasional). Seperti diketahui mengenai pelaksanaan putusan arbitrase yang diselenggarakan di Indonesia dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) terdapat perbedaan dalam prosedur dan jangka waktu pendaftaran, dan sebagainya.
Sedangkan UNCITRAL Model Law dalam pasal 1 secara gamblang menegaskan bahwa arbitrase adalah internasional apabila :
- para pihak dalam perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian yang bersangkutan, mempunyai kedudukan bisnis di negara yang berbeda;
- tempat berarbitrase, tempat pelaksanaan kontrak atau tempat objek yang dipersengketakan terletak di negara yang berbeda dari tempat kedudukan bisnis para pihak yang bersengketa atau apabila para pihak secara tegas bersepakat bahwa hal yang terkait dengan perjanjian arbitrase yang bersangkutan menyangkut lebih dari suatu negara.
Dengan kata lain pada arbitrase dalam praktek di Indonesia pun (antara lain di Badan Arbitrase Nasional Indonesia/BANI) diselenggarakan arbitrase yang menyangkut unsur–unsur asing (para pihak berbeda kebangsaan/negara), dimana persidangan putusan arbitrase yang bersangkutan dijatuhkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi penyelenggaraan arbitrase di Indonesia (pasal 59 dan pasal 4 dan pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999). Namun apabila dilihat dari kacamata Konvensi New York, putusan tersebut dapat dianggap sebagai putusan arbitrase internasional, sehingga dapat dilaksanakan eksekusinya di negara-negara lain yang merupakan anngota Konvensi New York.
Kenyataan lain yang juga terjadi dan dapat menimbulkan masalah adalah apabila suatu lembaga arbitrase asing (internasional), misalnya I.C.C menyelenggarakan sidang juga dan atau menjatuhkan putusannya di Indonesia. Pertanyaan dapat timbul apakah putusan arbitrase lembaga tersebut oleh pengadilan Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase domestik dengan segala akibat-akibatnya yang menyangkut prosedur pelaksanaan.
Kasus seperti ini terjadi belum selang berapa lama ini, yang sampai sekarang menimbulkan masalah yang berlarut-larut. Masalah seperti dikemukakan di atas terjadi karena berbeda dengan negara- negara lain pada umumnya (antara lain Singapura), peraturan perundang-undangan Indonesia yang menyangkut arbitrase asing (internasional) tidak mengantisipasi ketentuan UNCITRAL Model Law. Sehingga peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesian dianggap terlalu bersifat nasional, yang tercermin antara lain dalam ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang dan putusan yang harus mencantumkan irah-irah ‘Demi Keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Ini sulit untuk dipahami oleh pihak luar.
Untuk menyesuaikan dengan sifat internasional dan universal dari arbitrase sebagai suatu konsep penyelesaian sengketa dan dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan Indonesia dengan negara-negara lain yang ternyata memiliki kondisi lebih kondusif bagi penyelesaian sengketa-sengketa hukum internasional, seyogianya peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesia, dalam hal ini UU No. 30 Tahun 1999, dikaji kembali untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dunia internasional, termasuk UNCITRAL Model Law.
Disamping itu diharapkan bahwa hakim-hakim pengadilan negeri Indonesia serta semua pihak–pihak yang berkepentingan benar-benar memahami makna dan hakekat arbitrase sebab suatu konsep penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang bersifat praktis, non-konfrontatif, efisien dan efektif.
2.2 Pengakuan dan pelaksanaan putusan
Perkembangan sistem hukum di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum Civil Law atau sistem Eropa Kontinental. Hal ini disebabkan karena Indonesia terlalu lama dijajah oleh Belanda yang kemudian menerapkan sistem hukum Eropa dengan asas konkordansi di Hindia Belanda sebagai Negara jajahan nya. ,masih banyak ketentuan hukum peninggalan Belanda yang masih digunakan sebagai hukum positif. Sebagai contoh KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan HIR (Het Herziene Inlands Reglement atau Hukum Acara Perdata) yang banyak dipengaruhi oleh sistem hukum civil Law,yaitu mengutamakan kodifikasi hukum dan Undang-undang / hukum.
Namun, praktek seiring dengan perjalanan waktu, terutama setelah adanya pengaruh globalisasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, nampaknya penerapan sistem hukum CivilLaw di Indonesia mulai mengalami pergeseran. Terlebih setelah adanya akademisi maupun praktisi hukum dari Indonesia yang belajar hukum di nagara-negara yang menganut sistem CommonLaw seperti Inggris dan Amerika.
Dari sini timbul kesadaran akan pentingnya mempelajari perbandingan sistem hukum untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang sistem hukum yang ada di dunia secara global guna memperoleh manfaat internal yaitu mengadopsi hal-hal positif guna pembangunan hukum nasional. Maupun manfaat eksternal yaitu dapat mengambil sikap yang tepat dalam melakukan hubungan hukum dengan negara lain yang berbeda system hukumnya. Pergeseran itu antara lain mulai diakuinya sumber hukum Jurisprudensi, yaitu putusan hakim (judge madelaw) yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Hakim-hakim di Indonesia. Padahal menurut sistem Civil Law sumber hokum utama adalah Undang-undang dan Hakim tidak terikat oleh putusan hakim sebelumnya meskipun dalam perkara yang sama.
Contoh terbaru adalah diikutinya jurisprudensi putusan Mahkamah Agung tentang diperbolehkannya Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali dalam kasus JokoS. Candra. Sedangkan UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP secara tegas menyatakan upaya hukum PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.Sistem peradilan disuatu negara masing-masing dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh negara tersebut.
Menurut Eric L. Richard, sistem hukum utama di dunia adalah sebagai berikut:
- Civil Law, hukum sipil berdasarkan kode sipil yang terkodifikasi. Sistem ini berasal dari hukum Romawi (Roman Law) yang dipraktekkan oleh negara-negara Eropa Kontinental, termasuk bekas jajahannya.
- Common Law, hukum yang berdasarkan custom. Kebiasaaan berdasarkan preseden atau judge madelaw. Sistem ini dipraktekkan di negara-negara Anglo Saxon, seperti Inggris dan Amerika Serikat.
- Islamic Law, hukum yang berdasarkan syariah Islam yang bersumber dari AlQur‟an dan Hadits.
- Socialist Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara-negara sosialis.
- Sub-Saharan Africa Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara Afrika yang berada di sebelah selatan Gunung Sahara.
- Far Fast Law, sistem hukum Timur jauh–merupakan sistem hukum uang kompleks yang merupakan perpaduan antara sistem Civil Law, Common Law, dan Hukum Islam sebagai basis fundamental masyarakat.
2.3 Perbandingan Praktek di Negara Lain
Dalam kaitannya dengan sengketa internasional, ada baiknya kita melihat pada definisi sengketa internasional terlebih dahulu. Mahkamah Internasional (International Court of Justice) berpendapat bahwa sengketa internasional adalah suatu situasi di mana dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian (Huala Adolf, “Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional”).
Secara sederhana sengketa internasional adalah sengketa yang melibatkan subyek-subyek hukum internasional. Subyek-subyek hukum internasional berdasarkan berbagai konvensi internasional antara lain:
- Negara;
- Tahta Suci Vatikan.
- Organisasi Internasional;
- Palang Merah Internasional;
- Kelompok Pemberontak;
- Perusahaan Multinasional;
- Individu;
Mengenai peradilan internasional, Boer mauna berpendapat bahwa peradilan internasional adalah bersifat fakultatif. Menurutnya, bila suatu negara ingin mengajukan suatu perkara ke peradilan internasional, maka persetujuan semua pihak yang bersengketa merupakan suatu keharusan. Dengan demikian, penyelesaian sengketa antarnegara melalui peradilan internasional adalah juga berarti pengurangan kedaulatan negara-negara yang bersengketa. Sehingga, setelah dikeluarkan putusan oleh peradilan internasional, setiap negara pihak yang bersengketa wajib melaksanakan putusan tersebut. Demikian pendapat Boer yang kami sarikan dari buku “Hukum Internasional."
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa negara berhak menentukan sikap apakah akan mengakui dan melaksanakan putusan pengadilan asing atau tidak. Putusan pengadilan asing adalah putusan pengadilan di luar pengadilan nasional. Apabila sengketa terjadi dalam ranah perdata, salah satu alternatif penyelesaian sengketa adalah melalui badan arbitrase (baik nasional maupun internasional).
Sebagaimana ditegaskan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara Perdata” bahwa putusan pengadilan asing (dalam kaitannya dengan sengketa perdata internasional yang diselesaikan melalui arbitrase internasional) tidak dapat dieksekusi di wilayah Republik Indonesia kecuali undang-undang mengatur sebaliknya. Yahya Harahap mengacu pada ketentuan Pasal 436 Reglement op de Burgerlijke rechtvordering (“Rv”).
Mengenai bagaimana melaksanakan putusan pengadilan/arbitrase asing di Indonesia lebih lanjut dijelaskan oleh Yahya Harahap mengutip dari Pasal 436 ayat (2) Rv bahwa satu-satunya cara untuk mengeksekusi putusan pengadilan/arbitrase asing di Indonesia adalah dengan menjadikan putusan tersebut sebagai dasar hukum untuk mengajukan gugatan baru di pengadilan Indonesia.
Kemudian, pengadilan/arbitrase asing tersebut oleh pengadilan Indonesia dapat dijadikan sebagai alat bukti tulisan dengan daya kekuatan mengikatnya secara kasuistik, yaitu:
- Bisa bernilai sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat; atau
- Hanya sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan pertimbangan hakim.
2.4 Praktek pelaksanaan putusan arbiterase asing di Indonesia
Pelaksanaan putusan arbitrase dibedakan menjadi dua yaitu putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase asing (internasional). Putusan arbitrase nasional adalah putusan arbitrase baik ad-hoc maupun institusional, yang diputuskan di wilayah Republik Indonesia. Sedangkan, putusan arbitrase asing adalah putusan arbitrase yang diputuskan di luar negeri.
Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
Putusan Arbitrase Asing (Internasional)
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award.
Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
- Pengertian arbiterase asing
Yang dimaksud dengan arbitrase asing adalah lembaga arbitrase internasional yang dipilih oleh para pihak yang berbeda kewarganegaraan yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa.
Contoh Arbitrase Asing
Beberapa contoh arbitrase asing diantaranya :
- Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC), yakni arbitrase tertua yang menjadi alternative penyelesaian sengketa perdagangan internasional;
- The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang sering disebut dengan Center, yang khusus untuk menyelesaikan persengketaan “joint venture” atau penanaman modal suatu negara dengan warga negara. lain;
- UNCITRAL Arbitration Rules (United Nations Commission on International Trade Law) yang disebut juga UAR.
Cara pelaksanaan putusan arbitrase asing berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999. Pada dasarnya, putusan arbitrase asing harus dimintakan pengakuan keabsahannya, dan pelaksanaan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 65). Pengakuan dan pelaksanaan eksekusi inilah yang disebut dengan asas executorial kracht.
Terkait dengan hal tersebut, putusan arbitrase asing yang dapat dilaksanakan eksekusinya di Indonesia adalah putusan arbitrase yang:
- Dijatuhkan oleh lembaga arbitrase yang terikat dengan negara Indonesia melalui perjanjian (bilateral-multilateral), atau terikat dengan negara Indonesia dalam suatu ikatan konvensi Internasional, dan keterikatan tersebut mengakui tentang eksekusi putusan arbitrase (asas resiprositas);
- Putusan arbitrase internasional yang terbatas pada ruang lingkup hukum perdagangan di Indonesia;
- Putusan arbitrase internasional yang telah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan;
- Putusan arbitrase internasional yang menyangkut pihak Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak, setelah mendapatkan eksukuatur dari Mahkamah Agung yang selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Adapun tata caranya sebagai berikut (Pasal 67):
a. Permohonan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada paniter pengadilan negeri Jakarta Pusat (ayat (1));
b. Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan putusan tersebut harus dilengkapi dengan persyaratan administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (2);
c. Pada putusan arbitrase internasional, berlaku ketentuan bahwa (Pasal 68)
- Putusan arbitrase internasional yang memperoleh eksekuatur dari ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tidak dapat dilakukan upaya banding atau kasasi;
- Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, dapat diajukan kasasi;
- Terhadap putusan Mahkamah Agung tentang permohonan eksekuatur putusan arbitrase internasional di mana Negara RI sebagai salah satu pihak yang bersengketa, maka tidak dapat diajukan upaya perlawanan
d. Perintah eksekusi diberikan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang kemudian pelaksanaannya dilimpahkan kepada ketua Pengadilan Negeri berdasarkan kewenangan relative, dengan ketentuan :
- Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi;
- Tata cara pelaksanaan putusan harus mengikuti tata cara yang diatur di dalam hukum acara perdata.
DAFTAR PUSTAKA
Khairandy,ridwan, 2007, pengantar hukum perdata internasional,yogyakarta:FH UII PRESS. Diakses dalam bentuk PDF.
UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Diakses dalam bentuk PDF